pengampunan hukuman oleh kepala negara kepada seseorang
Grasiadalah wewenang dari Kepala Negara untuk memberikan pengampunan. terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, berupa menghapus seluruhnya, sebagian atau mengubah sifat/bentuk hukuman itu. Kamus Besar Bahasa Indonesia, grasi sebagai ampunan yang diberikan Kepala Negara terhadap seseorang yang. dijatuhi hukuman.
Perintahyang dikeluarkan oleh kepala negara maupun pemerintahan dan berkekuatan hukum Negara yang dipimpin oleh sultan Hassanal Bolkiah: AMNESTI: Pengampunan hukuman oleh kepala negara pada seseorang: THAILAND: penggulung Susunan bahan makanan ternak yang tidak padat Deformasi Tertulis tercatat Minuman dari buah buahan Petunjuk kepada
amnesti(amnnestie, Belanda) : ialah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada umum yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Biasanya amnesti diberikan kepada orang-orang atau kelompok yang melakukan kejahatan politik. Pemberian amnesti oleh kepala negara dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
Grasiadalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Contohnya, seseorang yang terkena hukuman mati, diringankan hukumanya menjadi hukuman seumur hidup.
Berikutini adalah kunci jawaban TTS untuk pertanyaan hukuman diakhirat - Kunci TTS Toggle Menu Kunci TTS. Pengurangan hukuman yang diberikan kepada narapidana: DENDA: Hukuman dengan membayar uang: IKAB: Hukuman, siksa: DANDAPATI: Hukuman mati: AMNESTI: Pengampunan hukuman oleh kepala negara pada seseorang: PUNISHMENT: Hukuman (Inggris
Vay Tiền Cấp Tốc Online. Rehabilitasi ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
You're Reading a Free Preview Pages 7 to 9 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 13 to 23 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 30 to 33 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 37 to 40 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 44 to 50 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 57 to 78 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 85 to 95 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 99 to 104 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 108 to 111 are not shown in this preview.
Mekanisme Hukuman Mati di Indonesia Oleh Satria Perdana, CPNS Analis Perkara Peradilan / Calon Hakim Masih segar dalam ingatan publik tentang Vonis Mati yang dijatuhi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap terdakwa Ferdi Sambo. “Terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya, yang dilakukan secara bersama-sama. “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana mati,” kata Hakim Ketua Wahyu Iman Santosa di PN Jakarta Selatan, Senin 13/02. Putusan tersebut disambut riuh hadirin di ruang sidang. Vonis tersebut lebih berat dari tuntutan JPU Sebelumnya, Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup. Hakim Ketua Wahyu Iman Santosa membacakan hal-hal yang dianggap memberatkan Ferdy, antara lain perbuatan dilakukan kepada ajudan sendiri, perbuatan mengakibatkan luka yang mendalam kepada keluarga Yosua, perbuatan telah menimbulkan keresahan dan kegaduhan yang meluas di masyarakat. Hukuman mati yang itu tentunya memicu perdebatan sendiri di kalangan masyarakat, para pembela HAM tentu tidak setuju dengan hukuman mati yang diberikan namun pihak keluarga korban pastinya mengucap syukur kepada majelis hakim yang telah mejatuhkan putusan tersebut. Melihat sejarah hukuman mati itu sendiri, Secara historis hukuman mati pertama kali ditentukan oleh Raja Hamurrabi dalam Codex Hamurrabi dari Babilonia pada abad ke-19 A. Sanusi Has, 199459. Dalam Kovenan Internasional yaitu Declaration Universal of Human Rights DUHAM hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia, sehingga tidak lagi diperbolehkan dan hukuman mati juga sudah usang, tidak memiki efek jera dan angka kejahatan. Indonesia merupakan negara yang mengakui eksistensi Hak Asasi Manusia, dalam Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan juga dalam perkembangan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ke-2 dari pasal 28A-28J yang pokoknya membahas tentang Hak Asasi Manusia. Lebih dari itu Indonesia mempertegas pengakuan atas penegakan Hak Asasi Manusia dengan amanat TAP MPR NO XVII tahun 1998 tentang pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM. Namun, pengakuan hak asasi manusia tidak mengarah pada penghapusan hukuman mati, dan hukuman mati masih digunakan dan diakui di Indonesia. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP secara tegas mengatur tentang pidana mati sebagai pidana pokok. Pada Pasal 10 huruf a KUHP menyatakan, Pidana pokok terdiri dari, Pidana mati, Pidana penjara, Pidana kurungan, Pidana denda, Pidana tutupan. Pertanyaan berikutnya adalah terhadap apakah setelah vonis hukuman mati dijatuhkan tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan? Menurut KUHAP yang berlaku di Indonesia terpidana yang telah dijatuhi hukuman mati masih bisa menempuh upaya Hukum Biasa yang terdiri dari 1. Banding Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan pidana. Terpidana dapat mengajukan Banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri. Proses Banding akan diperiksa oleh Pengadilan Tinggi nantinya. Sebagaimana diatur Pasal 67 KUHAP, yang berbunyi “Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk meminta Banding terhadap Putusan Pengadilan Tingkat Pertama, Kecuali terhadap Putusan Bebas, Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.” Keputusan pengadilan yang dapat dimintakan banding hanya keputusan pengadilan yang berbentuk Putusan bukan penetapan, karena terhadap penetapan upaya hukum biasa yang dapat diajukan hanya kasasi. Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 7 tujuh hari sejak putusan dibacakan sebagaimana diatur dalam Pasal 233 ayat 2 KUHAP. Apabila jangka waktu pernyatan permohonan banding telah lewat maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai Berkekuatan Hukum Tetap/Inkrach. 2. Kasasi Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan pidana. Terpidana dapat mengajukan Kasasi atas Putusan Banding, apabila merasa tidak puas dengan isi Putusan Banding Pengadilan Tinggi. Proses Kasasi akan diperiksa oleh Mahkamah Agung nantinya. Sebagaimana diatur Pasal 244 KUHAP, yang berbunyi “Terdapat putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemerikasaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.” Tenggang waktu pernyataan mengajukan banding adalah 14 empat belas hari sejak diberitahukan kepada terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 245 ayat 1 KUHAP. Apabila jangka waktu pernyatan permohonan kasasi telah lewat maka terhadap permohonan kasasi yang diajukan dianggap menerima putusan sebelumnya. Dan akan ditolak oleh Mahkamah Agung karena terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dianggap telah mempunyai Berkekuatan Hukum Tetap/Inkrach. Yang terakhir adalah upaya hukum luar biasa yakni 3. Peninjauan Kembali Peninjauan kembali dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh terpidana atau ahli warisnya kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Dasar pengajuan peninjauan kembali adalah sebagaimana yang sebagaimana daitur dalam Pasal 263 ayat 2 KUHAP, yang menyebutkan “a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbuktiitu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Peninjauan kembali juga dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tepap, apabila putusan itu merupakan suatu perbutan pidana yang didakwakan dan terbukti namun tidak ikuti dengan suatu pemidanaan/ hukuman.” Upaya hukum biasa dan luar biasa ini adalah cara terdakwa untuk menghindari hukuman mati yang telah dijatuhkan terhadap dirinya, namun upaya hukum tadi bukan satu-satunya cara agar terlepas dari jerat pidana mati, Indonesia juga mengatur cara agar terpidana mati tersebut mendapatkan pengampunan atas perbuatannya. Jenis-jenis Pengampunan tersebut adalah 1. Grasi Kata grasi berasal dari bahasa latin Pardonare, yang di terjemahkan kedalam bahasa Inggris yaitu Pardone. Menurut Blacks Law Dictionary Sixth Edition, yang disusun oleh Henry Campbell Black. Tahun 1990 dituliskan bahwa Pardon an executive action that mitigates or sets aside punishment for a crime. An act of grace from governing power which mitigates the punishment the law demands for the offense and restores the right and privileges forfeited on account of the offense. Grasi diatur dalam UU No. 22 Tahun 2002 yang telah dirubah dalam UU No. 5 Tahun 2010. Menurut Pasal 1 UU No. 20 Tahun 2002, yang dimaksud grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Selain upaya hukum luar biasa, untuk menghindari dilaksanakannya pidana mati, terpidana melalui kuasa hukumnya seringkali mengajukan grasi kepada Presiden untuk mengubah putusan pidana mati tersebut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru, pidana mati disebutkan akan otomatis menjadi pidana seumur hidup apabila sepuluh tahun setelah keputusan penolakan grasi dikeluarkan oleh Presiden, dan jaksa belum melaksanakan eksekusi pidana mati tersebut. Hal ini berarti jaksa harus melaksanakan pidana mati sebelum sepuluh tahun setelah adanya penolakan kasasi Perlunya diskusi norma Pasal 7 ayat 2 UU Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Dimana pasal tersebut berbunyi permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Permasalahan disini timbul selain membatasi, menghalangi, hak konstitusional Presiden sebagai kepala negara untuk memberikan grasi, hal tersebut juga menjadi masalah bila mengajukan lebih dari 1 tahun maka permohonan grasi tersebut menjadi daluarsa. Jika dilihat dari persfektif hukum pidana, kewenangan Presiden berkaitan dengan Pasal 14 UUD 1945 tentang Grasi dan UU No. 22 Tahun 2002 sebagaimana dirubah dengan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi sesungguhnya berkaitan erat dengan dua hal penting dalam hukum pidana, yakni perihal hapusnya kewajiban menjalankan pidana dan tujuan pemidanaan. Dari persfektif ini dapat disimpulkan bahwa berkaitan dengan grasi maka sesunggunya Presiden menyerap sebagian kecil kewenangan hakim dalam menetapkan jenis pidana yang dijatuhkan dan lamanya seseorang menjalani pemidanaan. Dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 5 Tahun 2010 diatur bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. Kata “dapat” dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan grasi sesuai dengan UU No. 5 Tahun 2010. Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama. Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, banding atau kasasi. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 tahun. Perlu di ingat bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 kali, agar memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan permohonan grasi dan menghindari pengaturan diskriminatif. 2. Amnesti Apabila merujuk pada kamus hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy, definisinya sbb amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan UUtentang pencabutan semua akibat dari pemindanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana. Dalam kaitannya dengan hukum pidana, kewenangan memberikan amnesti yang dimiliki Presiden ini sesungguhnya berbicara tentang hapusnya kewajiban seseorang menjalani pidana, khususnya berkaitan dengan alasan pemaaf dalam hukum pidana. Dengan pemberian amnesti sesungguhnya Presiden menyatakan bahwa sifat melawan hukum dari perbuatan seseorang ditiadakan karena Presiden mempergunakan hak nya memaafkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dan sekelompok orang. Berbeda dengan amnesti, berkaitan dengan hak abolisi, jika dipotret dari teori hukum pidana maka hak ini mempunyai kesamaan ide dengan hapusnya hak menuntut yang dikenal di dalam KUHP. Berkaitan dengan hapusnya hak menuntut di dalam KUHP, secara umum penuntutan dihentikan atau dicabut apabila 1. Telah ada putusan hakim yang tetap de kracht van een rechter lijkgeweijsde mengenai tindakan yang sama Pasal 76. 2. Terdakwa meninggal dunia Pasal 77. 3. Perkara telah kadaluarsa Pasal 78. Terjadi penyelesaian di luar pengadilan Pasal 82. Pasal 4 UU 11 Tahun 1954 menyatakan bahwa dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang diberikan amnesti dihapuskan. Sedangkan untuk pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan abolisi ditiadakan. Amnesti dan abolisi pernah dilaksanakan sebagaimana dalam UU Darurat No. 11 Tahun 1954 sehubungan pada saat itu terjadinya sengketa politik antara Indonesia Yogyakarta dengan Kerajaan Belanda pasal 2. UU ini merupakan pelaksanaan dari UUD Sementara Tahun 1950. Menurut ketentuan pasal 1, Presiden memberikan amnesti atau abolisi dengan pertimbangan dari MA berdasarkan permintaan dari Menteri Kehakiman. Dalam hal aturan pelaksana dari ketentuan ini perlu diteliti lebih lanjut. Dengan adanya Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 yang mengatur lembaga yang memberikan pertimbangan kepada Presiden berbeda, maka ketentuan pasal 1 UU Darurat 1954 tidak berlaku lagi, namun demikian belum diatur bagaimana proses pelaksanaan amesti dan abolisi sebagai implementasi dari ketentuan pasal 14 ayat 2 UUD 1945 tersebut. “Kepentingan Negara” yang tercantum dalam UUD 1945 dalam pemberian amnesti diterjemahkan dalam konteks politik. UU amnesti dan abolisi sendiri tidak menjelaskan kriteria apa yang dimaksud dengan kepentingan negara. kedua aturan yang ada terkait pemberian amnesti dari Presiden, memberikan petunjuk yang berbeda terkait mekanisme yang harus dijalani. UU amnesti dan abolisi mengatakan presiden dapat memberikan amnesti setelah mendapat nasihat tertulis dan MA yang diminta terlebih dulu oleh kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menurut UUD 1945 pasal 14 ayat 2, pemberian amnesti Presiden harus dengan pertimbangan DPR. mekanisme yang jelas terkait pemberian amnesti dari Presiden. Selain itu, aturan hukum yang baru juga harus memperjelas definisi dan indikator kepentingan negara dengan jelas. Hal ini akan memudahkan Presiden dalam menggunakan hak prerogratifnya. Selain itu, DPR serta masyarakat juga bisa mengawasi jalannya pemberian amnesti oleh Presiden karena batasan-batasannya sudah jelas. Belum menemukan peraturan perundang- undangan tentang prosedur baku yang mengatur mengenaitatacarapemberianAmnesti. 3. Abolisi Apabila merujuk pada kamus hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy, definisinya sbb abolisi adalah suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana, serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan. Merupakan hak prerogatif Presiden yang hanya diberikan setelah meminta nasihat MA. Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari MA yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman saat ini Menteri Hukum dan HAM. Apabila merujuk ada Pasal 2, amnesti dan abolisi diberikan kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia Yogyakarta dan Kerajaan Belanda. Apabila memahami substansi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa amnesti dan abolisi berlaku sebelum 27 Desember 1949. Peraturan perundang-undangan tentang prosedur baku yang mengatur mengenai tata cara pemberian abolisi. Perlu adanya peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang mekanisme pemberian abolisi yang dapat diajukan permohonan abolisi adalah hanya terhadap seluruh proses pemeriksaan yang sedang berjalan sebelum pengadilan menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Alasan abolisi harus berdasarkan pada pertimbangan bahwa dengan melakukan proses hukum kepada tersangka atau terdakwa akan merugikan kepentingan umum atau kepentingan Negara. Untuk kedepan terdapat beberapa perubahan penting terkait hukuman mati ini, terutama pembaharuan yang telah dilakukan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang disahkan pada 6 Desember 2022, hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Pasal 100 Ayat 1 KUHP mengatur, hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memerhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri atau peran terdakwa dalam tindak pidana. Namun dalam Pasal 100 Ayat 2 dijelaskan, pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. maka ketika ia menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji selama masa percobaan tersebut, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. Yakni, dengan Keputusan Presiden Keppres setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung MA. "Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada Ayat 4 dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan," bunyi Pasal 100 Ayat 5 KUHP. "Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung," bunyi Pasal 100 Ayat 6 KUHP. Demikian artikel ini dibuat oleh penulis semoga bermanfaat untuk menambah wawasan pembaca terkait mekanisme hukuman mati di Indonesia.
BerandaKlinikKenegaraanAmnesti, Rehabilitas...KenegaraanAmnesti, Rehabilitas...KenegaraanSenin, 26 November 2018Saya ingin tahu, kenapa pemberian amnesti, rehabilitasi, abolisi, dan grasi oleh Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR dan MA? Pemberian Amnesti, Rehabilitasi, Abolisi, dan Grasi merupakan kewenangan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung “MA” atau Dewan Perwakilan Rakyat “DPR” sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 “UUD 1945”. Dahulu sebelum amandemen UUD 1945, grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti menjadi hak absolut Presiden. Setelah amandemen, pemberian grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti oleh presiden harus dengan pertimbangan MA atau DPR. Ketentuan tersebut diubah dengan tujuan untuk peningkatan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Pemberian Amnesti, Rehabilitasi, Abolisi, dan Grasi merupakan kewenangan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung “MA” atau Dewan Perwakilan Rakyat “DPR” sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 “UUD 1945”, yang berbunyiPresiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Amnesti dan AbolisiAmnesti menurut Kamus Hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy ialahAmnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemindanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan istilah Abolisi menurut Kamus Hukum yang ditulis oleh Marwan dan Jimmy adalah suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana, serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan. Merupakan hak prerogarif Presiden yang hanya diberikan setelah meminta nasihat Mahkamah atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman saat ini Menteri Hukum dan HAM.[1]Pasal 4 UU 11/1954 menyatakan bahwa dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang diberikan amnesti dihapuskan. Sedangkan untuk pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan abolisi dan RehabilitasiGrasiGrasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Pasal 2 ayat 1 UU 5/2010 diatur bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada “dapat” dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan grasi sesuai dengan UU 5/2010.[2]Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah[3]putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atauputusan yang dimaksud dengan ”pengadilan” adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang memutus perkara pidana.[4]Hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama.[5] Jika pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, banding atau kasasi.[6]Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 dua tahun.[7]Perlu di ingat bahwa Permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 satu kali, agar memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan permohonan grasi dan menghindari pengaturan diskriminatif.[8]Pihak yang dapat mengajukan permohonan grasi secara tertulis adalah[9]Terpidana atau kuasa hukumnya;[10]Keluarga terpidana dengan persetujuan terpidana, keluarga yang dimaksud adalah isteri atau suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara sekandung terpidana; atau[11]Keluarga terpidana tanpa persetujuan terpidana, apabila terpidana dijatuhi pidana mati.[12]Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.[13] Pemberian grasi oleh Presiden dapat berupa[14]peringanan atau perubahan jenis pidana;pengurangan jumlah pidana; ataupenghapusan pelaksanaan adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang memberikan Rehabilitasi kepada seseorang dengan memperhatikan pertimbangan MA.[15]Dalam penjelasan umum KUHAP menyatakan bahwa rehabilitasi atau ganti kerugian diberikan kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Ganti kerugian dan rehabilitasi diberikan sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.[16]Seseorang memiliki hak untuk mendapatkan rehabilitasi pada saatMengajukan rehabilitasi melalui praperadilan, akibat tidak sahnya penangkapan atau penahan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan yang diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan;[17]Apabila diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan.[18]Mengapa Amnesti, Abolisi, Grasi dan Rehabilitasi Harus dengan Pertimbangan MA atau DPR?Dahulu sebelum amandemen UUD 1945, grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti menjadi hak absolut Presiden. Setelah amandemen UUD 1945 pemberian grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti oleh presiden harus dengan pertimbangan MA atau DPR. Ketentuan tersebut diubah dengan tujuan untuk peningkatan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden. Dengan adanya ketentuan pertimbangan ini, maka pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti, abolisi tidak lagi menjadi hak absolut Presiden, melainkan harus memperhatikan pertimbangan dari MA atau pembatasan kekuasaan Presiden dalam memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti, abolisi tersebut sejalan dengan konsep pemisahan kekuasaan menurut Montesquieu. Menurut Montesquieu sebagaimana dikutip oleh Parlin M. Mangunsong, dalam buku Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara hal. 50, kemurnian pemisahan kekuasaan negara yang harus dipisahkan menjadi 3 bagianKekuasaan Legislatif, yakni pembuat peraturan perundang-undangan;Kekuasaan Eksekutif, yakni untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan; sertaKekuasaan Yudikatif, yakni untuk mempertahankan peraturan pada praktiknya teori pemisahan kekuasaan negara sulit dipertahankan maupun diselenggarakan secara konsekuen, terutama pada negara hukum modern mewajibkan administrasi negara aktif mencampuri kehidupan masyarakat guna mewujudkan dan mempertinggi kesejahteraan dan Jimmy, Kamus Hukum Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum Internasional, Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Islam, Hukum Perburuhan, Hukum Agraria, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pajak dan Hukum Lingkungan, Surabaya, Reality Publisher 2009; Marbun dan kawan-kawan, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Press 2004.[2] Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU 5/2010[3] Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU 5/2010[4] Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU 5/2010[5] Pasal 5 ayat 1 UU Grasi[6] Pasal 5 ayat 2 dan penjelasan UU grasi[7] Pasal 2 ayat 2 UU 5/2010[8] Pasal 2 ayat 3 dan Penjelasannya UU 5/2010[9] Pasal 8 ayat 1 UU Grasi[10] Pasal 6 ayat 1 UU Grasi[11] Pasal 6 ayat 2 dan Penjelasan Pasal 6 ayat 2 UU Grasi[12] Pasal 6 ayat 3 UU Grasi[13] Pasal 4 ayat 1 UU Grasi jo. 14 ayat 1 UUD 1945[14] Pasal 4 ayat 2 UU Grasi[15] 14 ayat 1 UUD 1945[16] Angka 3 huruf d Penjelasan Umum KUHAP[18] Pasal 97 ayat 1 dan 2 KUHAPTags
BerandaKlinikKenegaraanHak Prerogatif bagi ...KenegaraanHak Prerogatif bagi ...KenegaraanKamis, 27 Januari 20221. Apa sebenarnya yang disebut hak prerogatif menurut hukum? Siapa saja yang memiliki hak tersebut? 2. Apakah seorang Kepala Desa berhak memecat bawahannya dengan beralasan hak prerogatif tersebut? Karena Kepala Desa yang mengeluarkan SK pengangkatan aparatur desa di prerogatif adalah hak istimewa yang dimiliki kepala negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuasaan badan-badan perwakilan. Merujuk definisi tersebut, yang memiliki hak prerogatif hanyalah seorang kepala negara atau presiden. Kepala daerah baik bupati, gubernur, dan pemimpin daerah otonom lainnya tidak memiliki hak prerogatif, namun dibekali oleh sejumlah kewenangan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel berjudul Hak Prerogatif yang dipublikasikan pertama kali pada Selasa, 16 Juli 2013. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan merujuk pada tulisan Ananda B. Kusuma, yang berjudul UUD 1945 Mengenal Hak Prerogatif. Dalam artikel tersebut, pengajar Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa menurut Thomas Jefferson, hak prerogatif diartikan sebagai kekuasaan yang langsung diberikan oleh konstitusi power granted him directly by constitution. Sebagai informasi tambahan, Thomas Jefferson adalah tokoh yang menulis Declaration of Independence dan ikut menyusun Konstitusi Amerika Presiden dalam UUD 1945Bila merujuk pengertian hak prerogatif tersebut, hak prerogatif adalah hak yang dimiliki oleh presiden dan tercantum dalam beberapa pasal dalam UUD 1945. Hak yang dimaksud, antara lainPasal 10 UUD 1945 Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara;Pasal 11 ayat 1 UUD 1945 Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat “DPR” menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain;Pasal 12 UUD 1945 Presiden menyatakan keadaan bahaya;Pasal 13 UUD 1945 Presiden mengangkat duta dan konsul;Pasal 14 UUD 1945 Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung “MA”; Presiden juga memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR;Pasal 15 UUD 1945 Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur UU; danPasal 17 UUD 1945 Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Prerogatif Presiden Grasi, Rehabilitasi, Amnesti, dan AbolisiSebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, Pasal 14 UUD 945 menerangkan bahwa presiden memiliki hak untuk memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA; serta amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR. Sehubungan dengan ini, mari simak contoh hak prerogatif yang dan RehabilitasiKetentuan grasi diatur dalam UU Grasi sebagaimana diubah dengan UU 5/2010. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.[1]Terkait grasi, Penjelasan Umum UU Grasi menegaskan bahwa pemberian grasi bukanlah campur tangan presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif untuk memberikan ampunan. Kemudian, meski pemberiannya dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana, grasi tidak berarti menghilangkan kesalahan dan bukan merupakan rehabilitasi terhadap untuk diketahui bahwa grasi hanya dapat diajukan satu kali.[2] Setelah diajukan oleh terpidana, presiden memiliki berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.[3] Bentuk yang diberikan dapat berupa keringanan atau perubahan jenis pidana, pengurangan jumlah pidana, atau penghapusan pelaksanaan itu, perihal rehabilitasi diatur dalam Pasal 1 angka 23 KUHAP yang berbunyi Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dan AbolisiHak prerogatif presiden lainnya, adalah amnesti dan abolisi diatur dalam UU Darurat 11/1945. Berdasarkan Kamus Hukum yang dibuat oleh M. Marwan dan Jimmy P, amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemidanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana hal. 14.Kemudian, abolisi berarti suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana, serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan hal. 10.Terkait pemberian amnesti dan abolisi, Pasal 4 UU Darurat 11/1945 menerangkan bahwa pemberian amnesti membuat hukuman pidana akan seseorang dihapuskan. Lalu, untuk pemberian abolisi, penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan abolisi ditiadakan. Hak Prerogatif Kepala Desa Menjawab pertanyaan Anda perihal dikeluarkannya SK Surat Keputusan oleh seorang kepala desa dengan alasan hak prerogatif untuk memecat aparatur desa atau bawahannya, penting untuk diketahui bahwa hal tersebut kurang membahasnya, kami asumsikan apa yang dimaksud aparatur desa sebagai bawahan seorang kepala desa adalah perangkat desa. Tugas dari perangkat desa adalah untuk membantu kepala desa dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintah desa. PP 43/2014 dan perubahannya memang menyebutkan bahwa seorang perangkat desa dapat diberhentikan dari jabatannya. Namun, pemberhentian yang dimaksud harus dilakukan dengan mekanisme khusus[4]kepala desa melakukan konsultasi dengan camat mengenai pemberhentian perangkat desa;camat atau sebutan lain memberikan rekomendasi tertulis yang memuat pemberhentian perangkat desa yang telah dikonsultasikan dengan kepala desa; danrekomendasi tertulis camat atau sebutan lain dijadikan dasar oleh kepala desa dalam pemberhentian perangkat desa dengan keputusan kepala desa. Menurut hemat kami, istilah memecat perangkat desa tidak tepat disebut sebagai hak prerogatif. Pengangkatan dan pemecatan seorang perangkat desa adalah wewenang dari kepala desa. Perlu kami tekankan sekali lagi, wewenang dan hak prerogatif adalah kedua hal yang berbeda. Hak prerogatif sebagaimana didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hak istimewa yang dimiliki kepala negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuasaan badan-badan perwakilan. Merujuk definisi tersebut, yang memiliki hak prerogatif hanyalah seorang kepala negara atau presiden. Kepala daerah, baik bupati, gubernur, dan pemimpin daerah otonom lainnya tidak memiliki hak prerogatif, namun dibekali oleh sejumlah kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hak prerogatif kepala desa dan hak prerogatif bupati adalah tidak informasi hukum yang ada di Klinik disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra jawaban dari kami, semoga HukumUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi;Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi;Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan terakhir kalinya diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Marwan dan Jimmy P. Kamus Hukum. Surabaya Reality Publisher, 2009;Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 27 Januari 2022, pukul WIB.[1] Pasal 1 angka 1 UU Grasi[3] Pasal 4 UU Grasi[4] Pasal 69 PP 43/2014Tags
pengampunan hukuman oleh kepala negara kepada seseorang